Senin, 14 Juni 2010

How You Think, is How You Act, is Who You Are (Bagian 1)

“Pemimpin yang baik dan mengerti arah perubahan, akan memimpin dengan contoh. Ia berada di depan, berkorban demi kebaikan. Ia mengajak yang lain berkorban, tanpa harus merasa susah.” –Rhenald Kasali–

Suatu pagi tiba-tiba masuk sebuah SMS dari seorang sahabat. Ia mengajukan pertanyaan, ”Mengapa para motivator, trainer, dan konsultan, tidak menjadi pemimpin besar dunia yang membuat perubahan besar untuk kesejahteraan umat manusia, mengukir sejarah? Mereka asyik saja memotivasi orang dan bicara banyak tentang leadership, tanpa menjadi pelaku utama”. Dug! Karena profesi saya trainer dan konsultan, dan dalam banyak kesempatan diminta menjadi motivator, pertanyaan tersebut lumayan menohok saya, namun di sisi lain juga memaksa saya berpikir untuk menemukan jawabannya.

Motivator, trainer, dan konsultan, sebagaimana juga dokter, pengacara, presiden, gubernur, ketua parpol, dan anggota legislatif, adalah profesi. Sementara pemimpin, leader, bukanlah profesi, melainkan peran dan sekaligus kualitas personal seseorang. Implikasinya, seorang presiden, gubernur, maupun ketua parpol belum tentu pemimpin. Sebaliknya, seorang konsultan, dokter, atau pengacara belum tentu bukan pemimpin. Walaupun memang ada profesi tertentu yang sebenarnya menuntut kapasitas kepemimpinan – kemampuan menjalankan peran sebagai pemimpin dan kualitas personal sebagai pemimpin – yang relatif lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya.

Mari kita lihat leader sebagai peran. Sebuah peran ditunjukkan oleh sekumpulan perilaku yang memiliki pola tertentu. Jangan dilupakan formula dasar bahwa perilaku adalah fungsi – refleksi, akibat – dari pola pikir. Ingat kembali hubungan: how you think is how you act, is who you are. Dalam konteks ini seseorang disebut leader karena ia berperilaku leader, yang merupakan dampak dari pola pikir leader pula.

Bagaimana seorang leader berpikir? Leader berpikir bagaimana menghadapi, dan bahkan memenangkan perubahan. Bagaimana organisasinya atau masyarakatnya dapat meniti gelombang turbulensi, dan bukan sekedar selamat, namun juga mampu melompat ke jenjang yang lebih tinggi. Leader menyadari bahwa agar tak tergulung oleh perubahan ia harus punya visi yang jelas, yang kemudian di-buy in oleh para pengikutnya, sehingga kemudian menjadi shared-vision, visi bersama. Visi yang jelas itu membuat leader tahu pasti apa yang harus dilakukan, dan mengapa hal tersebut harus dilakukan, walaupun sangat mungkin ia membutuhkan bantuan orang lain untuk mengelola kompleksitas yang timbul sebagai dampak gelombang turbulensi dengan menyusun rencana bagaimana mobilisasi sumberdaya harus dilakukan dan anggaran keuangan yang menjadi konsekuensinya.

Di sinilah titik beda yang membuat pemimpin menjadi begitu unik. Leader berorientasi ke masa depan (one day) di suatu tempat yang sama sekali berbeda (be somewhere), bukan sekedar re-inventing the wheel, berkubang dengan problematika klasik yang dari itu ke itu juga. Ia sangat berani bermimpi menembus batas realitas, karena ia menghayati bahwa menciptakan masa depan – learning from the future – adalah tugasnya. Bagi pemimpin sejati, sejarah dan kekinian adalah guru dan pemberi peringatan agar tak mengulangi kebodohan yang pernah terlanjur dibuat, terperosok ke dalam lubang yang sama, namun sama sekali bukan koridor pembatas, apalagi belenggu pemasung kemerdekaan berpikir dan bermimpi.

Bermimpi adalah kompetensi yang mutlak dimiliki seorang leader. Bukan sekedar bermimpi, namun melakukan visualisasi dalam pikiran sedemikian rupa sehingga mencapai titik disosiasi. Disosiasi adalah sebuah kondisi di mana kita seolah-olah melihat rekaman video tentang mimpi kita – lengkap dengan gambar, suara, dan sensasi rasa (visual, auditory, kinesthetic) – di mana kita melihat diri kita sendiri dalam film itu sebagai aktor utamanya. Disosiasilah yang membuat otak dan pikiran kita “tertipu”, merekam imajinasi itu, mimpi kita, sebagai realita, sehingga menjadi referensi yang sangat kuat, dan pada gilirannya mampu menciptakan sense of certainty, rasa pasti, yang membangun keyakinan kita, belief, terhadap visi itu. Dan jangan lupa, sense of certainty, belief, merupakan perintah mutlak, unquestioned command, terhadap sistem saraf dan proses-proses biokimia dalam tubuh kita, yang pada gilirannya akan membangunkan seluruh potensi tak terbatas yang sebelumnya lelap tertidur.

Ada cerita kecil tentang ini. Konon, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sepuluh ekor anak kodok menggagas lomba memanjat menara. Karena penasaran khalayak ramai berkerumun menyaksikan lomba yang tak lazim itu. Mereka bertepuk dan bersorak-sorai, namun sejatinya bukan memotivasi, bahkan kebalikannya, mengejek dan menafikkan kemungkinan kesepuluh anak kodok itu akan berhasil. Benar juga apa kata penonton, satu demi satu anak-anak kodok itu tergelincir jatuh. Teriakan penonton semakin brutal, dan kian banyak pula peserta lomba yang terpeleset dan gagal. Namun tunggu dulu. Ada satu anak kodok yang bergeming. Sama sekali tak terpengaruh! Ia terus merayap menunju puncak menara. Perlahan tapi pasti. Dan akhirnya ... dia berhasil! Maka penontonpun heran. Mereka mencoba mencari tahu mengapa anak kodok yang satu ini sukses mencapai puncak. Masya Allah, ternyata dia ... tuli!

Kesimpulannya, kalau mau berhasil jadilah pemimpin yang ”tuli”. Tuli terhadap seruan negatif para provokator! Sekali anda punya niat baik, punya mimpi besar untuk mengubah diri dan dunia di sekitar anda, fokuskan pandangan ke depan, mantapkan hati, busungkan dada, bermunajat mohon pertolongan dan penjagaan Allah SWT, lalu ... melangkahlah! ”...Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya” (QS. Ali ’Imran: 159).

Godaan paling klasik dari para provokator itu adalah cercaan bahwa impian kita tidak realistik. Impian memang mestilah tak realistik saat ini, di sini, bagi orang-orang yang tak mempercayainya. Bahkan, sebenarnya dalam hidup kita tak pernah sunguh-sungguh mengalami apa yang disebut ”realita”, karena yang kita alami adalah persepsi kita tentang realita. Jika tidak hati-hati, yang kita sebut realita akan lebih banyak menjadi jeruji besi pemasung cita-cita. Dan lebih lanjut, pada titik inilah seorang pemimpin sejati menjadi begitu berbeda: keyakinannya terhadap sebuah impian yang hebat, sense of certainty-nya, membuatnya mampu mencapai apa yang dianggap tidak realistik oleh orang lain. Dalam sebuah pertempuran, seorang sahabat Nabi SAW dengan semangat menggebu memacu kuda tunggangannya teramat cepat, sampai-sampai sahabat yang lain bertanya apa yang mendorongnya berbuat demikian. Sahabat itu menjawab, ”Wahai sahabatku, aku mencium bau surga di hadapanku.” Subhanallah! Surga sudah menjadi realita dalam indera gustatory (penciuman) sahabat tersebut, menjadi unquestioned command, ledakan energi luar biasa yang memacu dirinya menggempur musuh untuk mencapai tujuannya: surga!

Dan dalam konteks bangsa kita, ketika ”realita” menunjukkan bahwa prestasi olahragawan kita terus meluncur di bawah titik nol, bahkan di ajang semungil SEA Games, sementara prestasi korupsi kita kian menjulang, human development index kita semakin babak belur, dan beragam bencana kian seru menggempur, pemimpin yang punya kompetensi to learn from the future, atau meminjam istilah Rhenald Kasali, mampu me-re-code dirinya, merupakan necessary condition, prasyarat yang pantang ditawar untuk bangkit. Dia adalah seorang pemimpin dengan visi besar, ”terbentuknya Indonesia baru yang adil, sejahtera, dan bermartabat, serta karunia dari Allah Pencipta alam semesta”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar