Senin, 14 Juni 2010

Senjata Itu Bernama Manajemen (Bagian 4)

“Effectiveness is a habit; that is, a complex of practices. And practices can always be learned. Practices are simple, but always exceedingly hard to do well. They have to be acquired by practicing, and practicing, and practicing again.”
–Peter F. Drucker, 1967–

Karena cara bisa lebih dari 1001 banyaknya, dibutuhkan kriteria untuk memilihnya. Ini adalah rambu manajemen berikutnya. Cara yang dipilih mestilah yang efektif dan efisien. Nah, dua istilah ini tampaknya perlu mendapatkan porsi pembahasan agak luas. Demikian seringnya kata-kata “efektif dan efisien” digunakan dalam berbagai konteks, sehingga sering maknanya menjadi rumit dan tak jelas lagi, bahkan kadang-kadang agak konyol.

Ada pejabat atau pakar dalam wawancara televisi mengatakan, “cara itu memang efisien, namun tidak efektif.” Waduh! Bagaimana mungkin sesuatu bisa efisien jika tidak efektif? Meminjam istilah aljabar, efektifitas adalah necessary condition, sedangkan efisiensi adalah sufficient condition. Seluruh pilihan proses atau cara yang mampu mengantarkan kita pada tujuan disebut efektif. Dari berbagai alternatif proses atau cara tersebut, yang berbiaya paling rendah, adalah yang efisien.

Dalam urusan dengan action plan pribadi misalnya, banyak orang yang menuangkannya dalam bentuk bagan atau skema yang cantik dan canggih, dengan tampilan warna–warni memukau di gadget mereka. Namun seringkali keindahan dan kecanggihan itu menjadi tidak efektif karena tidak cukup disiplin untuk sering–sering merujuk pada action plan yang sudah mereka buat. Beruntung saya belajar dari guru manajemen saya, Taufik Bahaudin, tentang apa yang disebutnya stupid paper, sehelai kertas yang lusuh berlipat delapan, yang tak pernah luput dari saku kemeja beliau. Setiap terpikir ada sesuatu yang urgen untuk dilakukan, beliau tuliskan pada kertas itu. Sebaliknya, setiap ada to do thing yang selesai dikerjakan, beliau coret hal tersebut dari daftar.

Pernah saya bertanya pada beliau, mengapa harus kertas lusuh itu yang jadi tumpuan. Beliau kemukakan beberapa argumentasi. Pertama, ketika lembaran kumal itu dibuka, yang beliau lihat adalah sejumlah to do things yang menantang untuk diselesaikan, namun punya prioritas berbeda. Otomatis beliau terdorong untuk mencari mana to do thing yang paling urgen dituntaskan. Dengan bahasa yang sedikit canggih, kertas lusuh itu “memaksa” beliau berpikir logis dan sistematis. Tentu Anda ingat, ini rambu manajemen yang kedua.

Kedua, menurut beliau mencoret sebuah to do thing yang sudah berhasil dirampungkan punya kenikmatan psikologis yang sukar digambarkan dengan kata–kata dan bersifat addictive! Artinya, sensasi itu memprovokasi beliau untuk menuntaskan sejumlah to do things yang lain agar punya legitimasi untuk kembali mencoretnya dari daftar. Ketiga, mekanisme kertas lusuh itu, the stupid paper, begitu sederhana dan genuine. Implikasi, ketika menggunakannya kita fokus pada substansi, pada manfaatnya, dan tidak tergoda pada sejumlah kecanggihan “kosmetik” yang artifisial sifatnya.

Apakah jurus stupid paper ala Taufik Bahaudin itu efisien, itu perdebatan yang lain. Namun yang pasti ia menggambarkan efektifitas itu sama sekali tidak perlu rumit dan kelewat canggih. Disiplin pribadi adalah kata kuncinya.

Selanjutnya, bicara tentang efisiensi, tentunya berurusan dengan hitung–menghitung biaya. Namun perlu diingat, dalam menghitung biaya, bukan sekedar out-of-pocket expenses, biaya-biaya langsung yang dikeluarkan berupa uang kas. Harus diperhitungkan juga dengan cermat opportunity cost, nilai dari berbagai kesempatan dan peluang yang hilang, yang harus dikorbankan, jika kita memilih proses atau cara tersebut.

Harus dikalkulasi pula eksternalitas, yaitu berbagai kerugian yang diderita oleh pihak lain atau lingkungan jika kita menjalankan cara/proses tersebut. Contoh, sebuah pabrik sedang mempertimbangkan 2 alternatif cara pengolahan limbah, X dan Y. Cara X lebih mahal dibandingkan cara Y. Namun jika menggunakan cara Y yang lebih murah, limbah yang dihasilkan masih belum sepenuhnya aman bagi lingkungan. Jika demikian, pada saat menghitung biaya yang terkait dengan cara Y, harus diperhitungkan pula nilai kerugian yang timbul dari kerusakan lingkungan akibat limbah yang belum sepenuhnya aman tersebut. Dan jika itu dilakukan bisa jadi cara X lebih efisien, walaupun biaya langsungnya lebih mahal dibandingkan Y.

Bagaimana seseorang menyikapi eksternalitas tersebut disadari atau tidak juga membedakan “kasta” orang tersebut: apakah dia pemimpin sejati, atau sekedar eksekutif yang bekerja dengan kalkulasi bisnis jangka pendek. Pemimpin sejati punya tanggungjawab. Nilai itu tidak akan membiarkan dirinya mengambil keputusan apapun yang dampak sampingannya merugikan orang lain maupun lingkungan yang lebih luas. Buat pemimpin sejati, kebermanfaatan bagi manusia dan kemanusiaan adalah harga mati yang tak bisa ditawar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar